| Kimchi kedua |
Saya lagi senang-senangnya menonton drama Korea, hal ini mengingatkan saya ketika masih berseragam putih biru dan senang menantikan drama Korea pada sore hari, ketika masih diputar di saluran televisi swasta.
Saat saya SMP, internet sudah ada, hanya masih terbatas. Jejaring Friendster baru hype, MiRc sedang digandrungi, Yahoo! messenger masih populer, dan google belum sebanyak tahu sekarang. Hiburan masih dikendalikan media mainstream/konvesional atau sewa VCD dan DVD bila ingin memiliki alternatif menonton film lain.
Berbeda dengan sekarang, saya bebas memilih film dan series/serial favorit melalui saluran streaming langganan, bebas kapanpun yang saya mau, kendali ada di tangan saya sendiri. Ketika pandemi ini terjadi dan bekerja di rumah merupakan pilihan satu-satunya bagi sebagian orang, intensitas menonton film untuk saya lebih tinggi dari biasanya. Termasuk menonton drama Korea, tak hanya mengikuti alur ceritanya, saya sering salah fokus dengan makanan yang mereka santap. Salah satu makanan dasar yang selalu menjadi pendamping mereka makan atau menjadi campuran dalam sajian utama adalah; kimchi. Ya, makanan fermentasi ini begitu sering saya lihat. Mau makan sama mi instan, dimakan dengan nasi, atau makan daging saja, mereka selalu menyajikan kimchi sebagai pendamping.
Saya memang belum pernah merasakan kimchi di negara asalnya, tapi pernah mencicipi kimchi di beberapa resto di tempat saya tinggal. Rasanya kecut, crunchy, sedikit pedas, dan segar. Saya jadi tergelitik untuk membuatnya sendiri, meskipun saya berasumsi membuatnya pasti rumit. Lalu, saya mencoba googling resepnya dan menemukan resep membuat kimchi instan di sini, ternyata kimchi memiliki banyak varian.
Mengutip dari halaman resepnya:
배추 겉절이 (Bae-chu Geot-jo-ri) adalah jenis kimchi fresh atau yang bisa langsung dimakan tanpa perlu difermentasi dulu. Biasanya kalau di rumah-rumah orang korea pasti akan punya jenis kimchi yg satu ini karena selain buatnya gampang dan cepat, kimchi jenis ini cocok untuk dimakan dengan apapun. Berhubung tidak difermentasi, jadi rasa dari kimchi ini tidak kecut.
Masih dari resep tersebut, kalau mau dibuat kecut tinggal kita diamkan di suhu ruangan selama 24 jam. Sejak blog ini ditulis, saya telah membuat kimchi sebanyak tiga kali, dua kali saya menyesuaikan dengan bahan yang ada, mengganti gochugaru dengan bubuk cabe rawit (yang membuat perut saya melilit) dan mengganti bawang bombay dengan bawang merah karena harganya saat itu sedang melambung tinggi.
![]() |
| Kimchi pertama |
Bisa dibilang, saya mengagumi kimchi pertama yang saya buat, sedikit gagal karena terlalu pedas, tapi rasanya sangat familiar seperti yang saya makan di resto Korea. Percobaan kedua saya menggunakan cabe bubuk biasa dan warnanya tidak semerah kimchi pertama cenderung coklat bahkan tapi rasanya tidak pedas. Saya cukup ambisius, percobaan ketiga saya membeli bubuk cabe korea (gochugaru) di toko online, lalu menggunakan bawang bombay karena harganya sudah kembali normal. Gochugaru ini selain tidak terlalu pedas, warnanya pun merah cantik yang menggugah selera.
Percobaan ketiga ini seharusnya sempurna, harusnya enak, tapi sayangnya asin. Karena saya lupa menaruh gula dan terlalu banyak membubuhkan garam laut.
Drama Korea kimchi ini masih akan berlangsung, saya tetap akan membuat kimchi yang keempat kalinya, kali ini tanpa perasaan jumawa.
Bersambung…
| Kimchi ketiga sebelum diaduk |
Cheers,
Philida Thea

1 comments
Hai, mbak. Saya belum pernah merasakan membuat Kimchi sendiri, tapi kalau makan kimchi pernah akibat memesan Korean Noodle yang disengaja karena ada kimchinya. Kimchi ini semacam sauerkraut Jerman, ya. Cuma agak pedas. Kalau yang pedes-pedes biasanya saya nggak doyan. Tapi yang masem-masem seger macam acar timun-wortel-bawang merah buat side dish nasi goreng dan mie goreng itu saya suka. Sauerkraut juga enak. Probiotik yang bagus pula buat saluran cerna, seperti kimchi. Sayangnya faktor rasa pedas mungkin akan memberi dampak kesehatan yang kurang menguntungkan bagi saya.
ReplyDelete