![]() |
(waktu membaca : 8 - 10 menit)
Sebetulnya tujuan
utama saya untuk menghadiri penutupan waisak yaitu pelepasan 1000 lampion, karena saya masih punya waktu 1 hari sebelum
berangkat ke Magelang, sayang rasanya jika tidak memanfaatkan waktu senggang di
Jogja.
Seperti tagline-nya, “Never Ending Asia”, Jogja memiliki banyak
hal yang tak habisnya untuk dijelajahi. Sedang asyik memikirkan tempat apa saja
yang akan saya kunjungi ketika menghabiskan 1 hari di Jogja, saya teringat akan
sebuah foto teman saya, teman saya berfoto dengan latar belakang bertuliskan
“Ullen Sentalu Museum Seni dan Budaya Jawa” karena penasaran, saya langsung
mengandalkan bantuan mbah google untuk mencari informasi cara pergi ke Ullen
Sentalu menggunakan transportasi umum.
Letak Ullen Sentalu cukup jauh dari tempat saya
menginap, tapi tidak sulit untuk pergi ke sana menggunakkan transportasi umum,
ya perginya memang tidak sulit. Saya menginap di daerah malioboro, jadilah saya googling rute dari malioboro menuju Ullen Sentalu, cukup lama
mengubek-mengubek hasil pencarian mbah google, akhirnya saya mendapatkan informasi yang cukup jelas. Dari malioboro saya cukup naik Trans Jogja dengan biaya 3000 rupiah sampai Kentungan, ganti bis hanya 2 kali,
jika bingung petugas trans Jogja dengan senang hati memberikan arahan. Setelah sampai Kentungan, saya tanya lagi ke petugas trans Jogja mengenai arah ke Kaliurang,
dari halte kita harus berjalan sedikit lalu menyebrangi perempatan dan menunggu
sebuah mini bus (tapi disebut angkot) di depan apotik kaliurang, hal yang cukup
menarik dari perjalanan menuju Ullen Sentalu adalah banyak orang Jogja yang
tidak tau museum tersebut. Dari 4 orang Jogja yang kami tanya, hanya 1 orang
yang tahu.
“Museumnya memang bagus Mbak, hanya saja tiket
masuknya cukup mahal untuk ukuran museum” Ujar seorang bapak yang kami temui di
depan apotik saat kami (saya pergi ke sana dengan 2 orang teman) sedang menunggu Angkot menuju Kaliurang.
“Berapa ongkos menuju ke sana pak?” tanya saya
“Paling hanya 5000.” Tanggapnya cepat.
Tak lama Angkot yang membawa kami datang juga,
berhubung kosong, saya memutuskan untuk duduk tak jauh dekat supir, tujuannya
agar mudah bertanya jika ada apa-apa.
“Pak, turun di
Vogels Hostel ya.” ucap saya ketika baru duduk.
“Oh disitu, bisa.”
Saya sengaja memberitahu seperti itu karena
dari hasil yang saya googling jarang Angkot mengantar sampai Vogels Hostel,
rata-rata hanya sampai pasar.
“Nanti kalau mau turun, jangan kesorean.
Angkot sudah jarang beroperasi.” Saran pak supir
“maksimal jam berapa pak?” tanya saya
“Sekitar jam 2an.”
Pak supir bercerita, hal itu disebabkan
penduduk yang tinggal di Kaliurang lebih sering menggunakan kendaraan pribadi.
“Sekarang penumpang sudah sepi Mbak, makanya
jam 2 saja sudah jarang yang beroperasi. Dulu sampai sore. Ini saja kalau
penumpangnnya kurang dari 2 saya tidak pernah lanjut ke atas.” Paparnya
Angkot ini melewati
sebuah pasar , pak supir izin ngetem untuk mengangkut 3 penumpang lagi. Kami
sudah maklum, sekitar 30 menit kami menunggu penumpang lain. Ternyata, menuju
Ullen Sentalu memang sangat jauh, jalanan lurus ke atas, kadang meliuk, sejauh
mata memandang masih banyak pohon tinggi meskipun penginapan di sekitar
kaliurang juga banyak, saya jadi ragu dengan perjalanan sejauh ini apa benar
hanya bayar 5 ribu?
Pak supir dengan santai membawa kami lurus ke
atas, melewati jalan sempit yang hanya cukup satu minibus, belokan terjal pun
sudah biasa dia lewati, sekali lagi beruntung jalannya sudah bagus.
Saya merasa benar-benar berpetualang. Tak
lama, bis melewati gerbang kawasan wisata kaliurang dan sekitar 10 menit kami
sampai di pertigaan Vogels Hostel.
Kami turun dengan membayar ongkos 10rb rupiah perorang, kami tidak merasa keberatan sama sekali mengingat jalan yang dilewati
tidak sebanding jika harus jalan kaki :D.
Sampai pertigaan
Vogels Hostel, kami mulai bertanya pada orang sekitar. Mereka dengan senang
hati menunjukkan arah menuju museum Ullen Sentalu. Jalannya sepi, namun banyak
rumah megah dan tetap banyak pohon menjulang tinggi. Setelah menemukan papan
petunjuk Ullen Sentalu, langkah kami percepat, tak sabar ingin segera
menginjakkan kaki di sana.
Tidak disangka cukup banyak mobil yang parkir
di dekat museum ini, dan rata-rata pengunjung yang datang berasal dari Bandung,
Jakarta, Semarang. Kata mbak yang jaga tiket justru lebih banyak orang dari
luar kota yang tahu museum ini.
Harga tiket masuk
museum Ullen Sentalu untuk pengunjung lokal sebesar 25rb dan 50rb untuk turis
asing. Minimal kuota yang masuk adalah 2 orang, kita akan di temani oleh
seorang guide yang akan bercerita mengenai sejarah dari barang-barang, lukisan,
hingga foto-foto yang ada di dalam museum.
Saya tidak bisa melepas pandangan kagum terhadap
bangunan museum ini dan semakin terkagum-kagum ketika mulai memasuki museum.
Kami di bawa menuju gua selo giri, gua yang lebih mirip lorong menuju bawah
tanah. Menurut penuturan guide
kami, gua ini
dibuat dari batu-batu gunung merapi, bangunannya tidak menebang pepohonan disesuaikan
dengan kontur tanah makanya ketika kami masuk ke dalam gua jalannya
berkelok-kelok. Gua inilah yang akan menghubungkan ke pintu utama museum.
Museum Ullen Sentalu ini sebuah lembaga swasta
didirikan oleh keluarga Haryono, didukung oleh 4 kerajaan. 2 dari Solo dan 2
dari Jogja.
Ullen Sentalu adalah
singkatan dari “ULating
bLENcong SEjatiNe TAtaraning LUmaku” yang artinya adalah “Nyala lampu
blencong merupakan petunjuk manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan”. Diharapkan, museum ini dapat memberi
penerangan terhadap masyarakat mengenai pembelajaran seni dan budaya jawa.
Ketika
melangkah masuk ke dalam museum, kami sudah disambut oleh Arca Dewi Sri (dewi
kesuburan di zaman hindu) yang sedang memegang setangkai padi. Selain itu, ada
peninggalan gamelan yang berusia 100 tahun, gamelan biasanya digunakan untuk
mengiringi tari-tarian. Ketika menjelajahi tempat di mana gamelan berada, sang
guide bercerita mengenai gamelan lalu berlanjut sejarah tari-tarian. Saya tidak
ingat betul detail ceritanya seperti apa, begitu banyak cerita yang disajikan
hanya dalam melihat sebuah lukisan. Ya, rata-rata setiap tarian di
visualisasikan dalam bentuk lukisan.
Saya dan
rombongan kembali diajak berjelajah mengenai sejarah Kesultanan. Foto, lukisan,
sketsa, batik dan barang-barang kesultanan tertata rapi sesuai dengan kejadian
setiap waktu. Ketika saya memandang sebuah lukisan, saya bisa merasakan
makna-makna di dalamnya, bahkan setiap sketsa yang tersajikan mengandung arti
yang dalam.
Lorong-lorong
setiap museum seperti mesin waktu, membawa saya pada kejadian lampau. Sayup-sayup
suara gamelan menggema dilamunan saya. Pengetahuan saya bertambah mengenai
sejarah kehidupan Kesultanan di 4 kerajaan pada zaman dahulu, bagaimana aturan
sebagai putri, sebagai raja, bagaimana pakaian seharusnya bagi seorang ratu
atau putri sampai arti simbol-simbol yang ada. Bahkan, setiap batik yang
tersajikan memiliki sejarah tersendiri.
Salah satu
aturan di museum ini adalah tidak boleh sembarang mengambil foto, hanya tempat
tertentu saja. Salah satu yang dinanti adalah minuman khas yang disajikan
museum ini untuk pengunjung. Sebuah jamu yang sepertinya terbuat dari jahe,
rasanya manis dan hangat. Konon minuman ini adalah minuman supaya awet muda.
Sekitar 1 jam
lebih saya dan rombongan dibawa berkeliling museum dengan sejarah yang amat
mengagumkan. Tanpa perlu waktu lama, saya sudah menyatakan jatuh cinta akan
Seni dan Budaya Jawa. Saya jatuh cinta pada sejarah yang terkandung dalam
setiap sketsa, batik, lukisan, dan tulisan yang ada.
Ullen Sentalu
berhasil membawa saya menjelajahi waktu lampau, sehingga membuat saya tersenyum
senang akan kebudayaan Indonesia yang tak kalah bagusnya dari negera lain.
Hanya perlu peka, dan mau mengenal agar rasa cinta pada Budaya Indonesia bisa
tumbuh.
Sebelum
pulang kembali menikmati kota Jogja, saya dan kedua teman saya berfoto di spot
yang diizinkan. Syukurlah kedua teman saya juga senang menikmati perjalanan ke
museum ini.
Tiba saatnya
untuk pulang, kami pulang lebih awal sekitar jam 1 siang. Mengingat kata pak
Supir tadi bahwa tidak boleh terlalu sore agar bisa dapat Angkot. Kami hanya
telat sekitar 20 detik, ketika sebuah angkot baru saja pergi. Daripada menunggu lama, kami memutuskan berjalan kaki lebih dari 3 KM menuruni jalanan Kaliurang,
berfoto di sekitar Kaliurang untuk mengurangi rasa kelelahan dan pada akhirnya sebuah
angkot yang lebih kecil dan lebih usang melintas. Mengangkut kami sampai
kentungan.
Satu hari di
Jogja dan hanya menghabiskan waktu perjalanan ke Kaliurang menuju Ullen Sentalu
bagi saya sebanding dengan sejarah yang saya dapat setelahnya.
P.S : Bagi
yang ingin kesana dan takut tersesat, saya sarankan sewa mobil + supir dari
Jogja, atau cari teman di Jogja yang tau tempatnya. Bagi yang tidak takut tersesat,
naik transportasi umum adalah pengalaman yang luar biasa menyenangkan.
Selamat
memasuki mesin waktu!

Yogyakarta, 24 Mei 2013

0 comments