Ullen Sentalu : Perjalanan Panjang Memasuki Mesin Waktu

By philida thea - 9:24 PM


                                    
(waktu membaca : 8 - 10 menit)
            
    Sebetulnya tujuan utama saya untuk menghadiri penutupan waisak yaitu pelepasan 1000 lampion,  karena saya masih punya waktu 1 hari sebelum berangkat ke Magelang, sayang rasanya jika tidak memanfaatkan waktu senggang di Jogja.

Seperti tagline-nya, “Never Ending Asia”, Jogja memiliki banyak hal yang tak habisnya untuk dijelajahi. Sedang asyik memikirkan tempat apa saja yang akan saya kunjungi ketika menghabiskan 1 hari di Jogja, saya teringat akan sebuah foto teman saya, teman saya berfoto dengan latar belakang bertuliskan “Ullen Sentalu Museum Seni dan Budaya Jawa” karena penasaran, saya langsung mengandalkan bantuan mbah google untuk mencari informasi cara pergi ke Ullen Sentalu menggunakan transportasi umum. 

Letak Ullen Sentalu cukup jauh dari tempat saya menginap, tapi tidak sulit untuk pergi ke sana menggunakkan transportasi umum, ya perginya memang tidak sulit. Saya menginap di daerah malioboro, jadilah saya googling rute dari malioboro menuju Ullen Sentalu, cukup lama mengubek-mengubek hasil pencarian mbah google, akhirnya saya mendapatkan informasi yang cukup jelas. Dari malioboro saya cukup naik Trans Jogja dengan biaya 3000 rupiah sampai Kentungan, ganti bis hanya 2 kali, jika bingung petugas trans Jogja dengan senang hati memberikan arahan. Setelah sampai Kentungan, saya tanya lagi ke petugas trans Jogja mengenai arah ke Kaliurang, dari halte kita harus berjalan sedikit lalu menyebrangi perempatan dan menunggu sebuah mini bus (tapi disebut angkot) di depan apotik kaliurang, hal yang cukup menarik dari perjalanan menuju Ullen Sentalu adalah banyak orang Jogja yang tidak tau museum tersebut. Dari 4 orang Jogja yang kami tanya, hanya 1 orang yang tahu.

“Museumnya memang bagus Mbak, hanya saja tiket masuknya cukup mahal untuk ukuran museum” Ujar seorang bapak yang kami temui di depan apotik saat kami (saya pergi ke sana dengan 2 orang teman)  sedang menunggu Angkot menuju Kaliurang.

“Berapa ongkos menuju ke sana pak?” tanya saya

“Paling hanya 5000.” Tanggapnya cepat.

Tak lama Angkot yang membawa kami datang juga, berhubung kosong, saya memutuskan untuk duduk tak jauh dekat supir, tujuannya agar mudah bertanya jika ada apa-apa.

“Pak, turun di  Vogels Hostel ya.” ucap saya ketika baru duduk.

“Oh disitu, bisa.”

Saya sengaja memberitahu seperti itu karena dari hasil yang saya googling jarang Angkot mengantar sampai Vogels Hostel, rata-rata hanya sampai pasar.

“Nanti kalau mau turun, jangan kesorean. Angkot sudah jarang beroperasi.” Saran pak supir

“maksimal jam berapa pak?” tanya saya

“Sekitar jam 2an.”

Pak supir bercerita, hal itu disebabkan penduduk yang tinggal di Kaliurang lebih sering menggunakan kendaraan pribadi.

“Sekarang penumpang sudah sepi Mbak, makanya jam 2 saja sudah jarang yang beroperasi. Dulu sampai sore. Ini saja kalau penumpangnnya kurang dari 2 saya tidak pernah lanjut ke atas.” Paparnya

Angkot ini melewati sebuah pasar , pak supir izin ngetem untuk mengangkut 3 penumpang lagi. Kami sudah maklum, sekitar 30 menit kami menunggu penumpang lain. Ternyata, menuju Ullen Sentalu memang sangat jauh, jalanan lurus ke atas, kadang meliuk, sejauh mata memandang masih banyak pohon tinggi meskipun penginapan di sekitar kaliurang juga banyak, saya jadi ragu dengan perjalanan sejauh ini apa benar hanya bayar 5 ribu?

          Pak supir dengan santai membawa kami lurus ke atas, melewati jalan sempit yang hanya cukup satu minibus, belokan terjal pun sudah biasa dia lewati, sekali lagi beruntung jalannya sudah bagus.

       Saya merasa benar-benar berpetualang. Tak lama, bis melewati gerbang kawasan wisata kaliurang dan sekitar 10 menit kami sampai di pertigaan Vogels Hostel
Kami turun dengan membayar ongkos 10rb rupiah perorang,  kami tidak merasa keberatan sama sekali mengingat jalan yang dilewati tidak sebanding jika harus jalan kaki :D.

Sampai pertigaan Vogels Hostel, kami mulai bertanya pada orang sekitar. Mereka dengan senang hati menunjukkan arah menuju museum Ullen Sentalu. Jalannya sepi, namun banyak rumah megah dan tetap banyak pohon menjulang tinggi. Setelah menemukan papan petunjuk Ullen Sentalu, langkah kami percepat, tak sabar ingin segera menginjakkan kaki di sana.

Tidak disangka cukup banyak mobil yang parkir di dekat museum ini, dan rata-rata pengunjung yang datang berasal dari Bandung, Jakarta, Semarang. Kata mbak yang jaga tiket justru lebih banyak orang dari luar kota yang tahu museum ini.

  Harga tiket masuk museum Ullen Sentalu untuk pengunjung lokal sebesar 25rb dan 50rb untuk turis asing. Minimal kuota yang masuk adalah 2 orang, kita akan di temani oleh seorang guide yang akan bercerita mengenai sejarah dari barang-barang, lukisan, hingga foto-foto yang ada di dalam museum.

        Saya tidak bisa melepas pandangan kagum terhadap bangunan museum ini dan semakin terkagum-kagum ketika mulai memasuki museum. Kami di bawa menuju gua selo giri, gua yang lebih mirip lorong menuju bawah tanah. Menurut penuturan guide kami, gua ini dibuat dari batu-batu gunung merapi, bangunannya tidak menebang pepohonan disesuaikan dengan kontur tanah makanya ketika kami masuk ke dalam gua jalannya berkelok-kelok. Gua inilah yang akan menghubungkan ke pintu utama museum.
Museum Ullen Sentalu ini sebuah lembaga swasta didirikan oleh keluarga Haryono, didukung oleh 4 kerajaan. 2 dari Solo dan 2 dari Jogja.

      Ullen Sentalu adalah singkatan dari “ULating bLENcong SEjatiNe TAtaraning LUmaku” yang artinya adalah “Nyala lampu blencong merupakan petunjuk manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan”. Diharapkan, museum ini dapat memberi penerangan terhadap masyarakat mengenai pembelajaran seni dan budaya jawa.

           Ketika melangkah masuk ke dalam museum, kami sudah disambut oleh Arca Dewi Sri (dewi kesuburan di zaman hindu) yang sedang memegang setangkai padi. Selain itu, ada peninggalan gamelan yang berusia 100 tahun, gamelan biasanya digunakan untuk mengiringi tari-tarian. Ketika menjelajahi tempat di mana gamelan berada, sang guide bercerita mengenai gamelan lalu berlanjut sejarah tari-tarian. Saya tidak ingat betul detail ceritanya seperti apa, begitu banyak cerita yang disajikan hanya dalam melihat sebuah lukisan. Ya, rata-rata setiap tarian di visualisasikan dalam bentuk lukisan.

            Saya dan rombongan kembali diajak berjelajah mengenai sejarah Kesultanan. Foto, lukisan, sketsa, batik dan barang-barang kesultanan tertata rapi sesuai dengan kejadian setiap waktu. Ketika saya memandang sebuah lukisan, saya bisa merasakan makna-makna di dalamnya, bahkan setiap sketsa yang tersajikan mengandung arti yang dalam.

           Lorong-lorong setiap museum seperti mesin waktu, membawa saya pada kejadian lampau. Sayup-sayup suara gamelan menggema dilamunan saya. Pengetahuan saya bertambah mengenai sejarah kehidupan Kesultanan di 4 kerajaan pada zaman dahulu, bagaimana aturan sebagai putri, sebagai raja, bagaimana pakaian seharusnya bagi seorang ratu atau putri sampai arti simbol-simbol yang ada. Bahkan, setiap batik yang tersajikan memiliki sejarah tersendiri.

         Salah satu aturan di museum ini adalah tidak boleh sembarang mengambil foto, hanya tempat tertentu saja. Salah satu yang dinanti adalah minuman khas yang disajikan museum ini untuk pengunjung. Sebuah jamu yang sepertinya terbuat dari jahe, rasanya manis dan hangat. Konon minuman ini adalah minuman supaya awet muda.

           Sekitar 1 jam lebih saya dan rombongan dibawa berkeliling museum dengan sejarah yang amat mengagumkan. Tanpa perlu waktu lama, saya sudah menyatakan jatuh cinta akan Seni dan Budaya Jawa. Saya jatuh cinta pada sejarah yang terkandung dalam setiap sketsa, batik, lukisan, dan tulisan yang ada.


        Ullen Sentalu berhasil membawa saya menjelajahi waktu lampau, sehingga membuat saya tersenyum senang akan kebudayaan Indonesia yang tak kalah bagusnya dari negera lain. Hanya perlu peka, dan mau mengenal agar rasa cinta pada Budaya Indonesia bisa tumbuh.

        Sebelum pulang kembali menikmati kota Jogja, saya dan kedua teman saya berfoto di spot yang diizinkan. Syukurlah kedua teman saya juga senang menikmati perjalanan ke museum ini.

          Tiba saatnya untuk pulang, kami pulang lebih awal sekitar jam 1 siang. Mengingat kata pak Supir tadi bahwa tidak boleh terlalu sore agar bisa dapat Angkot. Kami hanya telat sekitar 20 detik, ketika sebuah angkot baru saja pergi. Daripada menunggu lama, kami memutuskan berjalan kaki lebih dari 3 KM menuruni jalanan Kaliurang, berfoto di sekitar Kaliurang untuk mengurangi rasa kelelahan dan pada akhirnya sebuah angkot yang lebih kecil dan lebih usang melintas. Mengangkut kami sampai kentungan.

         Satu hari di Jogja dan hanya menghabiskan waktu perjalanan ke Kaliurang menuju Ullen Sentalu bagi saya sebanding dengan sejarah yang saya dapat setelahnya.


P.S : Bagi yang ingin kesana dan takut tersesat, saya sarankan sewa mobil + supir dari Jogja, atau cari teman di Jogja yang tau tempatnya. Bagi yang tidak takut tersesat, naik transportasi umum adalah pengalaman yang luar biasa menyenangkan.

Selamat memasuki mesin waktu!


 Yogyakarta, 24 Mei 2013


  • Share:

You Might Also Like

0 comments